27 Januari, 2009

Yazid dalam Timbangan Al-Qur'an dan As-Sunnah

(Bantahan atas Tulisan: Siapa Pembunuh Al Husain Radhiyallahu 'anhuma? )
Pada tahun 62 H sekelompok warga Madinah pergi ke Syam. Dengan mata kepala mereka sendiri mereka menyaksikan perbuatan mungkar Yazid bin Muawiyah. Dari sinilah mereka sadar bahwa khalifah yang berkuasa atas kaum muslimin adalah orang yang tidak mengenal agamanya. Setibanya di kota Madinah, mereka menceritakan apa yang terjadi di Syam kepada penduduk Madinah. Mereka mengutuk Yazid. Abdullah bin Handhalah ra yang juga ikut pegi ke Syam berkata, "Wahai penduduk Madinah, kami baru saja tiba dari Syam. Kami sempat bertemu dan bertatap muka langsung dengan Yazid. Ketahuilah bahwa dia adalah seorang yang tidak mengenalnya. Dia adalah seorang yang meniduri ibu, anak dan saudara sekaligus. Yazid adalah seorang peminum khamar, yang tidak melaksanakan kewajiban shalat dan bahkan membantai anak keturunan Nabi."
Mendengar hal itu, penduduk Madinah bertekad menarik kembali baiat mereka kepada Yazid. Tak cukup sampai disitu, mereka juga mengusir guberbur Madinah yang bernama Utsman bin Muhammad bin Abu Sufyan. Berita pembangkangan penduduk kota Madinah sampai ke telinga Yazid. Yazid mengirimkan bala tentaranya dalam jumlah besar dipimpin oleh Muslim bin Uqbah untuk menumpas gerakan Warga Madinah. Selama tiga hari pasukan Yazid membantai warga Madinah. Darah membanjiri lorong-lorong kota Madinah hingga membasahi makam suci Rasulullah dan Masjid Nabawi.
Selain tujuh ratus tokoh Muhajirin dan Anshar, sepuluh ribu kaum muslimin penduduk Madinah terbantai secara mengerikan dalam peristiwa tersebut. Yazid dalam perintahnya menghalalkan apapun yang dilakukan pasukannya terhadap penduduk Madinah selama 3 hari. Sekedar untuk memberikan gambaran kekejian yang mereka lakukan, Abu Al Hasan Al Madani mengatakan, "Setelah peristiwa Harrah di kota Madinah, sebanyak seribu wanita melahirkan tanpa suami." Kisah yang bukan dongeng ini ditulis oleh banyak sejarahwan muslim, diantaranya, Sibt Ibn Al-Jauzi dalam kitabnya Al-Tadzkirah Al-Khawwas hal 63. Ibnu Katsir—rahimahullah—berkata, "Yazid telah bersalah besar dalam peristiwa Al Harrah dengan berpesan kepada pemimpin pasukannya, Muslim bin Uqbah untuk membolehkan pasukannya memanfaatkan semua harta benda, kendaraan, senjata, ataupun makanan penduduk Madinah selama tiga hari". Yang dalam peristiwa tersebut terbunuh sejumlah sahabat nabi dan anak-anak mereka. Bagaimanakah Islam menyikapi tragedi ini?
Sikap Islam terhadap Pembunuh Sahabat Nabi
Tragedi Al-Harrah adalah tragedi besar pasca tragedi terbantainya keluarga nabi di Karbala. Yazid tidak merasa puas berusaha menghabisi keluarga nabi namun juga berupaya menumpas habis sahabat-sahabat nabi dan anak-anak mereka. Dalam peristiwa tersebut terbunuh sekitar tujuh ratus sahabat nabi, yang mengantongi curicullumvitae keutamaan berjihad bersama nabi. Diantaranya, Abdullah bin Handhalah ra, anak sahabat nabi yang dimandikan oleh malaikat setelah syahid dalam perang. Menyikapi Yazid, PP Wahdah Islamiyah (selanjutnya dibaca WI) dalam situs resminya memposting artikel, bahwa sikap Ahlus Sunnah wal Jama'ah terhadap Yazid bin Muawiyah adalah tidak mencela tapi tidak pula mencintainya dengan dalih agama Islam tidak dibangun di atas celaan melainkan dibangun di atas akhlak mulia. Maka celaan dan para pencela, tidak memiliki tempat sedikitpun dalam agama Islam.. Sesuaikah sikap tersebut dengan prinsip-prinsip dalam Islam? Mari kita lihat sikap Islam yang berdasar pada Al-Qur'an dan As-Sunnah.
Imam Bukhari dan Imam Muslim menulis dalam kitab shahih mereka, Rasulullah saww bersabda, "Barang siapa menakut-nakuti penduduk Madinah dengan kedzalimannya, maka Allah akan membuatnya takut. Baginya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia. Di hari kiamat kelak, Allah SWT tidak akan menerima amal perbuatannya."
Pertanyaannya, apakah melakukan pembunuhan massal, merampas harta dan kehormatan kaum muslimah pada peristiwa Al-Harrah tidak termasuk menakut-nakuti penduduk Madinah?. Berdasarkan hadits ini, Yazid adalah orang yang dikutuk oleh Allah, para malaikat dan seluruh umat manusia. Selanjutnya, pada peristiwa tersebut terbunuh ratusan sahabat nabi, bagaimanakah sikap Rasulullah saww terhadap pembunuh sahabat-sahabatnya?. Pada Shahih Bukhari Jilid 5 hal 132 bab Ghaswah Ar-Raji'i wa ri'li wa dzakwan. Riwayat ini diceritakan oleh Anas bin Malik bahwa Bani Raji'i, Dzakwan, Ushayyah dan Bani Hayan meminta bantuan Rasulullah saww untuk membantu mereka menghadapi musuh. Rasulullah saww mengirimkan 70 sahabat terbaik dari kalangan Anshar yang terkenal sebagai Al-Qurra' (pembaca Al-Qur'an). Namun ketika mereka sampai pada sumber mata air yang bernama Bi-ir Ma'unah, dengan licik 70 sahabat Anshar tersebut mereka bunuh. Rasulullah sangat berduka atas peristiwa ini, dan selama satu bulan beliau membaca qunut melaknat pembunuh sahabat-sahabatnya. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan Rasulullah saww, sahabat-sahabatnya dibantai oleh yang mengaku sebagai khalifah Rasulullah.
Lalu kemudian, generasi selanjutnya datang mengaku sebagai pengikut dan pembela sunnah nabi namun kemudian menyebarkan ajaran Islam yang dibangun di atas akhlak yang mulia, saking mulianya mereka menulis, "…maka celaan dan para pencela, tidak memiliki tempat sedikitpun dalam agama Islam". Tidak adakah tempat dalam Islam bagi Rasulullah saww yang mencela dan melaknat pembunuh sahabat-sahabatnya?. Bahkan Allah SWT sendiri, Penguasa alam semesta, bagi mereka tidak memiliki tempat dalam Islam, sebab Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan akhirat, dan menyediakan azab yang menghinakan bagi mereka." (Qs. Al-Ahzab : 57). Ayat ini menegaskan Allah SWT melaknat dan mencela orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah melaknat mereka di dunia dan akhirat, sedangkan bagi Ahlus Sunnah wal Jama'ah (versi WI) Islam tidak memberi tempat sedikitpun bagi para pencela. Keterlibatan Yazid dalam Tragedi Karbala
Dalam artikel tersebut ada upaya jelas untuk mengarahkan opini kaum muslimin agar menyalahkan pengkhianatan penduduk Kufah yang terlibat tidak langsung dibanding mereka yang terlibat langsung membantai keluarga Nabi di Karbala. Lebih mengerikannya lagi, mereka menyebut penduduk Kufah yang berkhianat dan tidak menolong Imam Husain as, keluarga dan pengikutnya adalah kelompok Syiah. Inilah fitnah terbesar mereka terhadap Syiah. Apakah mereka tidak tahu, bahwa dalam makna lafadznya saja sudah jelas, Syiah berarti pengikut, pembela dan golongan?. Fairuzabadi dalam al-Qamus mengenai kata Sya'a mengatakan Syi'aturrajul adalah, golongan, pengikut dan pembela seseorang. Dalam Al-Qur'an Surah As-Saffat ayat 83 tertulis, "Wa inna min syiah tihi laa ibrahima" artinya "Dan sesungguhnya Ibrahim termasuk golongannya (Nuh)".
Ketika ada yang mengatakan sebagai Syiah Nabi maka berarti pengikut dan pembela Nabi. Begitu juga dengan Syiah Imam Husain as. Karenanya dimana Syiah pada waktu terjadi tragedi Karbala?. Mereka turut terbantai bersama Imam Husain as, mereka yang jumlahnya tidak seberapa itu, meneguk cawan syahadah bersama penghulu pemuda surga. Lalu siapakah orang-orang Kufah yang mengundang Imam Husain as dan menyatakan kesediaan meraka berbaiat dan rela mati bersama Al-Husain?. Kalaupun mereka mengaku dan bersaksi sebagai Syiah Imam Husain as, maka persaksian mereka akan tertolak secara sendirinya kalau ternyata mereka tidak mampu memberikan bukti atas kesaksian tersebut. Menghukumi pengkhianatan orang-orang Kufah sebagai pengkhianatan orang-orang Syiah adalah tidak adil dan termasuk kejahatan intelektual sebab Syiah sendiri berlepas dari mereka. Sama halnya dengan Ahlus Sunnah yang mendepak mereka dari golongan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menyimpang dari As-Sunnah. Bersediakah Ahlus Sunnah diklaim sebagai aliran sesat hanya karena penyimpangan yang dilakukan oleh mereka yang mengklaim diri sebagai Ahlus Sunnah, sementara Ahlus Sunnah sendiri tidak mengakui keahlus sunnahan mereka?.
Lalu kemana Ahlus Sunnah pada waktu itu?. Ini yang secara pribadi ingin saya gugat, apa bedanya mereka dengan penduduk Kufah yang tidak memberi pembelaan dan pertolongan kepada keluarga nabi?. Mereka tidak memberi respon apa-apa terhadap peristiwa tersebut. Ya, mereka bisa jadi tidak memiliki tenaga yang cukup untuk berjihad bersama Imam Husain as sebab mereka hari itu berpuasa sesuai perintah nabi, “Ia (puasa) ‘Asyura, menghapus dosa tahun lalu.” (HR. Muslim). Atau menganggap Imam Husain as tidak layak mendapat pertolongan, sementara mereka sendiri mengakui Imam Husain as terbunuh secara dzalim. Atau apakah enjo mae?
Mereka yang mengaku Ahlus Sunnah (padahal jauh dari sunnah) berupaya mengubur dalam-dalam tragedi ini, agar tidak lagi diperbincangkan dan menjadi ingatan bagi kaum muslimin. Di hari Asyura mereka melakukan tiga hal, berpuasa, mengecam Syiah dan membela Yazid, tidak melaknat dan juga tidak mencintainya. Mereka berupaya mengampuni Yazid dengan dalil hadits dari Rasulullah saww, "Pasukan yang paling pertama menyerang Romawi diampuni." (HR. Bukhari). Kalaupun benar hadits ini shahih dan ekspedisi ini dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah, itu tidak memberi dampak apa-apa terhadap kedzalimannya kepada keluarga dan sahabat-sahabat nabi. Sebab penyerangan tersebut terjadi pada tahun 49 H, pengampunan dimaknai sebagai terhapusnya dosa-dosa yang telah dilakukan, seseorang tidak diampuni karena dosa-dosa yang belum dilakukannya. Sementara tragedi Karbala terjadi pada tahun 61 H dan tragedi Al-Harrah pada tahun 63 H, jauh setelah ekspedisi Yazid ke Romawi. Kalau mau tetap memaksakan diri menafsirkan hadits Rasulullah saww tersebut bahwa yang dimaksud diampuni adalah dosa setelah dan yang akan datang, maka harus kita akui, Yazid lebih tinggi keutamaannya dibanding sahabat-sahabat utama nabi (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali –ridha Allah atas mereka-) sebab tidak ada pernyataan nabi yang menggambarkan keutamaan sebagaimana yang dimiliki Yazid sebagai pemimpin pasukan menyerang Romawi, yang terampuni dosa-dosanya sebesar dan sedzalim apapun.
Apakah dosa membunuh keluarga nabi dan sahabat-sahabatnya akan terampuni sementara Allah SWT berfirman, "Barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam. Dia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya." (Qs. An-Nisa : 93). Di ayat yang lain, "Yaitu hari yang tidak berguna bagi orang-orang dzalim permintaan maaf mereka, bagi mereka laknat dan bagi merekalah tempat tinggal yang buruk." (Qs. Al-Mu'min : 52). Ayat lainnya, "Ingatlah, laknat Allah ditimpakan atas orang-orang yang dzalim." (Qs. Hud: 18).
Kalau dikatakan Yazid menyesali terbunuhnya Imam Husain as dan nampak terlihat kesedihan di wajahnya dan suara tangisan pun memenuhi rumahnya, lalu apa tindakannya terhadap pembunuh Imam Husain as, apakah dia memberikan hukuman kepada Ubaidillah bin Ziyad? Memecatnya sebagai gubernur pun tidak sama sekali. Tindakan memulangkan secara hormatpun keluarga nabi yang tersisa ke Madinah, tidak memiliki arti apa-apa, tanpa memberikan hukuman kepada pembunuh Imam Husain as. Bahkan tahun selanjutnya Yazid memerintahkan untuk menyerang kota Madinah. Kenyataan ini menunjukkan keterlibatan Yazid dalam tragedi Karbala, sebagai khalifah saat itu, dia bertanggungjawab penuh atas tragedi tersebut.
Tentang hadits "Janganlah kalian mencela orang yang telah meninggal dunia, karena mereka telah menyerahkan apa yang telah mereka perbuat." (HR. Bukhari). Benar-benar sangat meragukan telah diucapkan oleh Rasulullah saww sebab itu berarti, kita dilarang membaca ayat-ayat Al-Qur'an yang bernada celaan dan laknat kepada mereka yang kafir dan dzalim. Bukankah laknat dan celaan Allah SWT tersebar dibanyak ayat kepada Firaun, Qarun, penduduk kaum A'ad, Tsamud, Abu Lahab dan secara umum kepada orang-orang kafir, yang kesemuanya adalah orang-orang terdahulu. Meskipun hadits tersebut berkenaan dengan Abu Jahal, namun teks hadits tersebut bermakna umum, yang artinya kita tidak boleh mencela Firaun, Qarun, Abu Lahab dan orang-orang kafir yang memerangi Rasulullah saww karena telah meninggal dunia dan telah menyerahkan apa yang telah diperbuatnya.
Apakah dengan dalil-dalil di atas membuat kita tetap bersedia terpengaruh dengan ajakan ustadz-ustadz WI untuk bersikap sama dengan Adz-Dzahabi, "Kita tidak mencela Yazid, tapi tidak pula mencintainya."? Atau bersedia melaknat Yazid, sebagaimana Allah SWT melaknat mereka yang telah menyakiti Rasulullah?. Pilihan anda menunjukkan derajat keimanan anda. Saya merasa perlu menulis ini, sebab postingan "Siapa Pembunuh Al Husain Radhiyallahu 'anhuma?" di situs resmi Wahdah Islamiyah menurut saya sangat tidak Islami dan menyimpang dari sunnah.
Wallahu 'alam bishshawwab
Catatan : Tulisan "Siapakah Pembunuh Al Husain Radhiyallahu 'anhuma" diposting 10 Januari 2009 di www.wahdah.or.id

15 Januari, 2009

Giliran Syiah Bertanya

كل شيء تطور الا الكتابة عن الشيعة و لكل يد اية الا الاقتراء على الشيعة و لكل حكم مصدره و دليله الا الاحكام على الشيعة
Segala sesuatu berubah, kecuali tulisan menyerang Syiah
Setiap awal tentu berakhir, kecuali tuduhan terhadap Syiah
Setiap vonis berdasarkan dalil, kecuali vonis terhadap Syiah
Ulama-ulama Islam sepakat apapun mazhabnya bahwa siapapun yang menganggap Al-Qur'an mengalami perubahan, maka berarti telah mengingkari Al-Qur'an, Allah SWT berfirman, "Sungguh, Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan sungguh Kamilah yang menjaganya." (Qs. Al-Hijr : 9) Keberadaan riwayat-riwayat yang menunjukkan keraguan terhadap keaslian Al-Qur'an terdapat dalam kitab-kitab hadits Ahlus Sunnah dan Syiah. Ulama-ulama Syiah telah berkali-kali melakukan bantahan dan menyatakan penolakan terhadap keberadaan riwayat-riwayat tersebut. Misalnya Syaikh Rasul Ja'farian telah menulis kitab, "Ukdzubah Tahrif Al-Qur'an baina as-Sunnah wa Asy-Syiah (Kedustaan Adanya Perubahan Al-Qur'an di Kalangan Sunnah dan Syiah) 1414 H, buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul, Menolak Isu Perubahan Al-Qur'an. Atau kitab, Shiyanah al-Qur'an min Ta'arif (Keterjagaan Al-Qur'an dari Perubahan) yang ditulis Al-Ustadz Al Allamah Muhammad Hadi Ma'rifah, penerbit Dar Al-Qur'an Al-Karim, Qom, cetakan 1, 1410 H.

Kehadiran dua kitab ini sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk menjawab tuduhan yang senantiasa dilontarkan kepada Syiah, bahwa orang-orang Syiah meyakini adanya tahrif dalam Al-Qur'an atau tuduhan yang lebih keji lainnya, kaum Syiah memiliki Mushaf lain yang berbeda dengan yang dimiliki kaum muslimin lainnya. Namun sayangnya, tuduhan-tuduhan tersebut tetap ada, yang bagi saya sangat deceptif, menyesatkan dan merupakan kejahatan intelektual, sebab menuduh seseorang dengan sesuatu yang tidak diyakininya sangat tidak adil. Pada tulisan ini saya menyertakan riwayat-riwayat dari kitab Ahlus Sunnah yang mengindikasikan bahwa terjadi perubahan dalam Al-Qur'an atau adanya perbedaan antara bacaan beberapa sahabat dengan apa yang kita baca saat ini. Saya menukilnya dari kitab Shahih Bukhari, yang diterima keshahihannya oleh Ahlus Sunnah.
Hadits pertama :

Dari Qabishah bin Uqbah yang berasal dari Ibrahim bin Alqamah ra ia berkata kepada kami, "Saya dalam safar (perjalanan) bersama beberapa sahabat Abdullah (bin Ubay) datang ke Syam. Kedatangan kami didengar oleh Abu Darda dan berkata, "Adakah diantara kalian yang membaca (maksudnya membaca Al-Qur'an)?" Kami menjawab, "Na'am". Kemudian orang-orang memberi isyarat kepada saya. Abu Darda berkata, "Bacalah !". Maka sayapun membaca : "Wallaeli dst.. (bisa dibaca langsung pada teks hadits pada gambar yang bergaris bawah merah, Shahih Bukhari kitab Tafsir jilid 6 hal 210)"
Mendengar demikian dia bertanya, "Apakah engkau mendengar dari mulut temanmu (maksudnya Abdullah bin Ubay)?" Aku menjawab, "ya". Ia melanjutkan, "Saya sendiri mendengarnya dari nabi saww dan mereka menolak untuk menerimanya." Afwan kalau ada yang salah dari cara saya menerjemah, pembaca bisa membaca sendiri pada teks hadits tersebut. Yang bisa saya pahami dari hadits ini, ada perbedaan bacaan Al-Qur'an antara sahabat. Sebab yang dibaca sahabat-sahabat Abdullah bin Ubay ra berbeda dengan apa yang terdapat dalam Al-Qur'an saat ini, bisa dibaca perbedaannya pada Qs. Al-Lail : 1-3. Bacaan sahabat-sahabat tersebut kurang wa ma khalaka (demi penciptaan). Lalu bagaimana penghukuman kita terhadap sahabat-sahabat yang dikatakan Abu Darda ra, mereka menolak menerimanya? Apakah Ahlus Sunnah bersedia mengkafirkan mereka, sebagaimana mereka mengkafirkan Syiah?

Jangan berpendapat itu hanya salah penulisan, sebab juga tertulis pada Fathul Ba'ari, Syarah Shahih Bukhari. Kesalahan penulisan akan meruntuhkan doktrin keshahihan kitab Shahih Bukhari, sebab jika pada penulisan saja terdapat kesalahan bagaimana pada penukilan yang membutuhkan tingkat ketelitian yang lebih ekstra?.

Saya ajukan lagi hadits berikutnya.
Pada Shahih Bukhari Jilid 5 hal 132 bab Ghaswah Ar-Raji'i wa ri'li wa dzakwan. Riwayat ini diceritakan oleh Anas bin Malik bahwa Bani Raji'i, Dzakwan, Ushayyah dan Bani Hayan meminta bantuan Rasulullah saww untuk membantu mereka menghadapi musuh. Rasulullah saww mengirimkan 70 sahabat terbaik dari kalangan Anshar yang terkenal sebagai Al-Qurra' (pembaca Al-Qur'an). Namun ketika mereka sampai pada sumber mata air yang bernama Bi-ir Ma'unah, dengan licik 70 sahabat Anshar tersebut mereka bunuh. Rasulullah sangat berduka atas peristiwa ini, dan selama satu bulan beliau membaca qunut melaknat pembunuh sahabat-sahabatnya. Sebelum melanjutkan, saya ingin mencoba membandingkan sikap ulama Ahlus Sunnah Wal Jama'ah terhadap Yazid bin Muawiyah dengan apa yang dilakukan Rasulullah saww kalau memang mereka mengaku sebagai pengikut dan pembela Sunnah. Rasulullah saww melaknat pembunuh 70 sahabatnya, ulama-ulama Ahlus Sunnah, diantaranya diwakili oleh Adz-Dzahabi yang berkata, "Kita tidak mencela Yazid namun tidak juga melaknatnya". Merekapun berpendapat, bahwa sikap diamlah yang lebih sesuai dengan sunnah nabi. Padahal mereka sendiri meyakini, bahwa Yazid telah melakukan kedzaliman besar dalam 3 tahun masa kekuasaannya, Ibnu Katsir berkata, "Yazid telah bersalah besar dalam peristiwa Al Harrah dengan berpesan kepada pemimpin pasukannya, Muslim bin Uqbah untuk membolehkan pasukannya memanfaatkan semua harta benda, kendaraan, senjata, ataupun makanan penduduk Madinah selama tiga hari." Dalam tragedi tersebut terbunuh sejumlah sahabat nabi yang mengantongi curicullum vitae keagungan berjihad bersama Rasulullah pada perang Badar, perempuan-perempuan Madinah diinjak-injak kehormatannya dan anak-anak mereka dibunuh. (baca diantaranya kitab Hiqbah minat-Tarikh, karya Syaikh Utsman bin Muhammad Alu Khamis at-Tamimi). Mana yang lebih mendekati sunnah, Adz-Dzahabi yang memilih mendiamkan Yazid, tidak melaknat dan juga tidak mencintai, atau orang-orang Syiah yang melaknat Yazid bin Muawiyah sebagaimana Rasulullah saww melaknat Bani Raji'i, Dzakwan, Ushayyah dan Bani Hayan yang membunuh 70 sahabatnya?.
Kita lanjutkan pembahasan hadits, sampailah kita pada ucapan Anas bin Malik ra selanjutnya, "Kami pernah membaca sebuah ayat tentang mereka, tetapi kemudian ayat tersebut diangkat kembali." Ayat yang dimaksud lihat pada gambar yang bergaris merah. Pemahaman kita selama ini terhadap ayat-ayat Al-Qur'an adalah adanya ayat-ayat mansukh. Yakni ayat yang mengganti (atau membatalkan hukum) ayat yang lainnya. Kita tidak pernah mendengar ada ayat yang diangkat kembali. Yakni ayat yang sebelumnya tertulis dalam Al-Qur'an lalu kemudian diangkat dan tidak terdapat lagi dalam Al-Qur'an yang kita baca saat ini. Bukankah keberadaan riwayat ini mengajak kita berpikir, bahwa ada perubahan terhadap Al-Qur'an. Kita bisa jadi meragukan keaslian Al-Quran saat ini, sebab bisa saja, ada ayat yang diangkat kembali, tetapi karena kita tidak mendapatkan riwayatnya maka ayat tersebut masih tertulis dalam Al-Qur'an saat ini, ataupun sebaliknya. Sebagaimana yang kita pahami pada hadits pertama. Kita wajar mengajukan pertanyaan, mengapa riwayat-riwayat yang menimbulkan keraguan atas keutuhan dan keaslian Al-Qur'an terdapat pada kitab Shahih Bukhari, yang diterima mutawatir, textus receptus?. Dalam kitab Al-Itqan fi ulumul Qur'an karya Jalaluddin Suyuti, pada jilid 1 hlm 50, disitu tertulis riwayat dari Umar bin Khattab ra yang mengatakan, "Al-Qur'an memiliki 1.027.000 (satu juta dua puluh tujuh ribu) kata (ahruf)." Sedang yang ada pada Al-Qur'an tidak sampai sepertiganya. Bukankah menurut Umar terjadi pengurangan pada Al-Qur'an ?.

Saya yakin ulama Ahlus Sunnah pun akan mengatakan, menolak keshahihan riwayat-riwayat tersebut. Bedanya, ulama-ulama Syiah telah banyak menulis kitab bantahan terhadap riwayat-riwayat yang meragukan keaslian Al-Qur'an baik dalam kitab-kitab Syiah maupun Ahlus Sunnah, sementara ulama-ulama Ahlus Sunnah tidak (atau tepatnya belum) melakukannya, sementara mereka selalu melontarkan tuduhan dan fatwa kekafiran Syiah hanya karena riwayat-riwayat yang meragukan keutuhan Al-Qur'an terdapat dalam literatur Syiah.

Ya jelas, bisa jadi mereka takut untuk disebut keluar dari barisan kaum muslimin dengan melakukan kritik terhadap Shahih Bukhari. Sebab mereka sendiri telah membuat dogma Shahih Bukhari sederajat dengan Al-Qur'an yang tidak bisa dibantah, dikritisi, diragukan, siapa yang melakukannya, keluar dari Islam atau diragukan keislamannya. Sementara bagi Syiah, hanya satu kitab Shahih di dunia ini, Al-Qur'anul Karim.

Wallahu 'alam bishshawwab
Qom, 16 Januari 2009

08 Januari, 2009

Revolusi Al-Husain, Inspirasi yang Tak Pernah Habis

Karbala terletak beberapa kilo meter dari hulu sungai Eufrat di barat laut Kufah. Tanah Karbala awalnya bernama Kur Babal lalu disingkat menjadi Karbala untuk memudahkan pengucapan. Kata Babal dalam nubuat Yesaya berarti gurun laut (shahra' al bahr) sebuah lembah luas yang dibelah oleh sungai Eufrat. Versi lainnya, disebut Karbala karena pada zaman Babilonia disana terdapat tempat penyembahan. Karb berarti tempat penyembahan, tempat sembahyang dan tempat suci dan kata 'Abala dalam bahasa Aramea berarti Tuhan, sehingga Karbala artinya tanah suci Tuhan. Kitab-kitab samawi sebelumnya menyebut tanah tersebut Karbala, karena dinubuatkan di tempat inilah terjadi kesulitan dan bencana yang sangat memilukan hati. Karb dalam bahasa Arab artinya kesulitan dan bala artinya bencana. Al-Kitab, memberitakan bahwa di Karbala inilah terjadi penyembelihan yang teramat dahsyat, yang digambarkan pedang akan makan sampai kenyang dan akan puas minum darah mereka (Yeremia 46:1).
Sejarahpun mengabadikan, Karbala adalah hamparan sahara yang menyuguhkan genangan darah dan air mata suci putera-puteri Rasul. 10 Muharram 61 Hijriah, Imam Husain bersama 72 pengikutnya — termasuk di dalamnya anak-anak — syahid dibantai oleh sekitar 30.000 tentara Yazid bin Muawiyyah di padang Karbala, Irak. Kepala Imam dan para syuhada dipenggal dan diarak keliling kota. Sangat disayangkan, peristiwa tragis ini kurang mendapat apresiasi bahkan dari kaum muslimin sendiri. Diantara buku-buku sejarah yang menumpuk diperpustakaan kita, sulit kita temukan buku yang membahas pembantaian Karbala, seakan-akan peristiwa ini tidak ada pentingnya untuk dikaji dan diapresiasi, sedangkan yang dibantai secara tragis adalah Imam Husain, cucu Rasulullah yang tersisa. Rasul bersabda tentangnya, "Husain berasal dariku dan aku berasal darinya. Allah mencintai siapa yang mencintainya. Siapa menyakitinya berarti menyakitiku"
Karbala bukanlah sebuah peristiwa sejarah yang berhenti pada 10 Muharram, tetapi merupakan titik balik yang sangat penting bagi aqidah Islam yang agung. Yang dilakukan Imam Husain as di Karbala adalah revolusi tauhid, yakni revolusi yang –menurut Ali Syariati- gugusannya dimulai oleh nabi Ibrahim as, diledakkan secara sempurna oleh Nabi Muhammad saww, dipertahankan hidup oleh Imam Husain as dan berakhir pada Imam Mahdi. Ali Syariati merasa perlu mengingatkan, bahwa melupakan riwayat Imam Husain as sebagai mata rantai yang lepas dari rangkaian sejarah tidak bedanya memotong bagian tubuh manusia yang masih hidup untuk dilakukan penelitian atasnya. Perlawanan yang dikobarkan Imam Husain adalah hikayat kebebasan yang dikubur hidup-hidup oleh pisau kezaliman pada setiap zaman dan tempat. Karenanya semangat itu perlu kita hidupkan kembali.
Pentingnya Mengenang Karbala
Kebijakan Muawiyah bin Abu Sufyan mengangkat Yazid putranya sendiri sebagai khalifah atas kaum muslimin adalah awal pemicu prahara tak berkesudahan dalam tubuh umat Islam. Pengangkatan ini tidak hanya mengakhiri keagungan dan kecemerlangan Daulah Islamiyah yang telah dibangun oleh Rasulullah saww dan dijaga oleh keempat sahabat beliau yang mulia namun juga telah mengoyak-ngoyak tatanan politik Islam yang berkeadilan. Para sejarahwan menuliskan Yazid bukanlah orang yang layak menjadi khalifah, ia dzalim dan sering tampak secara terang-terangan menginjak-injak sunnah Rasulullah. Untuk memutlakkan kekuasaannya atas kaum muslimin, Yazid bin Muawiyah meminta baiat dan pengakuan dari Imam Husain as, sebagai orang yang paling alim dimasanya.
Disinilah kondisi lebih pelik bermula, berhadapan dengan kekuatan besar dan kekuasaan Yazid, kematian adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi ketika memilih menolak berbaiat. Sebenarnya bisa saja Imam Husain as menganggap jalan menuju surga tidak hanya terbatas pada berjuang di bawah kilatan pedang. Jihad bukanlah satu-satunya jalan menuju surga, bukankah dengan hidup zuhud, menyingkirkan diri dari keramaian, menyibukkan diri dengan ibadah di sudut-sudut mesjid adalah jalan yang lebih mudah dan aman menempuh surga?. Tetapi tidak bagi al-Husain, surga bukanlah satu-satunya tujuan dan impiannya. Beliau harus melaksanakan tugas yang diemban dan taklif yang saat itu berada dipundaknya, mempertahankan kebenaran dan revolusi Islam yang telah diledakkan sang kakek. Menurut Imam Husain as, dasar kepercayaan Islam adalah kekuatan perlawanan dan pembebas. Islam tidak semata-mata memuat deretan do’a dan ibadah melainkan perlawanan yang bergelora. Mungkin dengan semangat itulah, Islam hakiki akan tampak, sebagaimana diturunkan pertama kali, menjadi pembebas bagi mereka yang berada dalam ketertindasan. Baginya, mengosentrasikan jiwa dan pikiran di sudut-sudut mesjid dan rumah-rumah kosong adalah pengkhianatan terhadap revolusi Islam. Dengan kekuatan yang tersisa, Imam Husain as mengajak keluarganya untuk memilih kematian daripada harus mengakui kekuasaan Yazid yang menumpahkan tinta lain selain Islam dalam pemerintahannya.
Imam Husain berangkat melawan untuk membela kebenaran, yakni kebenaran bagi semua umat manusia. Jadi perlawanan tersebut dengan esensinya akan terus berlangsung selama-lamanya. Dimanapun seorang melakukan perlawanan terhadap kezaliman, disitulah Karbala. Setiap tusukan pedang pada hari Asyura adalah tusukan terhadap penguasa yang dzalim pada periode kapanpun. Itulah perlawanan yang mulai membara dan terus membara selama masih ada kedzaliman di atas muka bumi, selama masih ada pemerintah yang dzalim, selama masih ada aqidah dipermainkan. Itulah perlawanan yang takkan mereda, terutama saat ini ketika intimidasi menimpa banyak bangsa, aqidah dan agama dipermainkan untuk mengokohkan kezaliman, pengrusakan dan membenarkan kebiadaban segelintir manusia atas manusia lainnya
Antoane Bara dalam bukunya The Saviour Husain dalam Kristinitas (Citra, 2007) menulis, Al-Husain adalah pelita Islam yang menerangi batin agama-agama hingga akhir zaman. Ajaran-ajaran revolusi Imam Husain, perlawanan terhadap ketidak adilan, kebebasan dan kemerdekaan jiwa, altruisme (ajaran rela berkorban) bukankah ini batin agama-agama sepanjang masa? Revolusi Al-Husain adalah lompatan keberanian dalam penjara-penjara hegemoni pada zamannya. Sebuah citarasa yang tinggi. Kalimat syahadat, La ila haillallah adalah simbol universitas kesyahidan, yakni kebebasan, tidak ada ketundukan kepada selain Allah. Allah SWT berfirman, "Janganlah kalian mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati, tetapi mereka hidup" Demikianlah Al Husain tetap hidup, hidup di sisi Allah, di dalam hati, jiwa dan pikiran orang-orang yang memerdekakan jiwanya. Hidup dalam perasaan, di atas mimbar, di dalam majelis-majelis, dalam slogan-slogan perlawanan, hidup dalam buku. Gerakan, semangat dan misi Al-Husain di Karbala, di hari Asyura akan selalu menginspirasi setiap gerakan revolusi di dunia, di setiap masa. Revolusi Al-Husainlah yang menginspirasi Mahatma Ghandi membawa rakyat India menuju pembebasan dari penjajahan Inggris. Di penghujung abad 20 Imam Khomeini telah menuntun kafilah dan semangat Asyura meruntuhkan Imperium yang berkuasa 2.500 tahun membuktikan Revolusi Al-Husain mengungguli dunia dan zaman. Kullu Yaumin As-Syura , Kullu ardin Karbala, semua hari adalah As-Syura, semua tempat adalah Karbala.
Wallahu 'alam bishshawwab